Jumat, 19 Agustus 2011

Kali Pertama Kamu Memanggil Aku Dengan Sebutan Tahi

Aku tak pernah tahu bagaimana sebutan Tahi itu bisa muncul dari bibir kamu. Aku bahkan tak mengira itu bisa terlontar. Kalau ditilik dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Tahi artinya kotoran ataupun ampas dari sisa makanan yang keluar dari (pipppppppppp..sensor). Kalau ingat kata itu, maka aku jadi teringat Kali
Pertama kita kenalan.

Semua dimulai dari sebuah SMS nyasar yang kamu kirim iseng-iseng di sebuah malam kelam. Sama seperti datangnya kata Tahi yang terlontar dari sms kamu, cara kamu mengajak berkenalan pun tiba-tiba. Saat itu, aku sedang sibuk bekerja di sebuah ruangan sendirian ketika ada sms masuk berbunyi, "Hai ini eka ya, apa kabar?" (kalau gak salah kalimatnya seperti itu)

Sejujurnya, yang kurasa hanya kaget dan takjub. Sisi melankolisku yang merindu jadi tersipu mendapatkan sms itu. Dalam hati, sedikit penasaran, bagaimana seseorang bisa tahu nomor baruku? Walaupun aku sadar itu sms cuma dalih untuk ngajak kenalan karena aku bukanlah eka) Dengan jujur kukatakan. "Aku geer". Kamu boleh tertawa, tapi kenyataannya memang begitu. Aku butuh sapaan tiba-tiba itu, dan hingga saat ini aku bersyukur karena kamu sempat mengisi ruang kosong dalam duniaku walau untuk beberapa jam.

Aku yang pernah terluka, terburu-buru menyimpulkan, terburu-buru menyambut kehadiran kamu dengan tangan terbuka. Aku nggak tahan kesepian. Bukan karena gak
bisa, tapi karena aku selalu menyalahkan diri kalau sedang sendiri. Aku butuh seseorang untuk membuatku tetap waras. Itulah sifat yang kadang gak semua orang
tahu. Yang mereka lihat, adalah sosokku yang super duper keras kepala kayak batu atau sok pengen jadi batu. Silakan kamu pilih sendiri.

Kali kedua, ketiga dan seterusnya, kamu mencoba menaklukkanku yang terus menghindar karena enggan terluka. Tiba-tiba kamu nongol di Facebook hanya untuk mengomentari hal yang gak penting, mencoba dan terus mencoba hingga hati ini luluh. Hingga sang wanita sok pengen jadi batu membuka diri hanya karena panggilan "Una" yang aku gak tahu apa itu artinya.

Lalu dimulailah petualangan Una dan Fad She Bintang. Jarak yang membentang bukan masalah karena ada rasa sayang di ujung perjalanan kita. Bandung-Jakarta
jadi saksinya. Masih ingat kalimat "Pak, Beli Krupuk Seribu"??? Stasiun Gambir ibarat rumah tempat kita berdua singgah. Kamu membantuku menemukan diriku yang hilang. Membantu melewati banyak hal. Hingga
jiwa ini terasa hanyut tanpa tahu ada suatu kekuasaan besar menanti di tahap berikutnya. Bersamamu ada tangis, marah, tawa dan ketenangan. Aku masih belum
lupa saat-saat ketika kita bergantian saling menanti siapa yang tertidur duluan di saat ponsel kita sama-sama menempel di telinga. Tapi kalau boleh kuakui,
\aku lah yang paling sering menunggu hingga kamu terlelap. Akulah yang ingin jadi sosok terakhir sebelum kamu menuju alam mimpi. "Selamat tidur, Fad," itulah biasanya kalimat terakhirku sebelum menutup telepon diiringi dengkur halus yang terlontar dari bibirmu. Dibalik pertengkaran kita yang seolah tanpa henti, aku selalu menunggu saat-saat penuh damai itu Fad. Sebuah obat buat penawar luka hati setelah seharian lebih berjuang meraih dunia.

Hahaha meraih dunia, lebai sekali bukan. Tapi itulah aku? Perempuan yang kamu sebut Tahi...Perempuan yang punya banyak mimpi tapi kadang suka tersesat dalam
dunianya sendiri. Dan kamu membuatku belajar banyak. Hingga aku tahu betapa pahitnya mencintai. Betapa harus ikhlasnya merelakan.

Kali pertama buat aku tentangmu selalu tiba-tiba. Seperti saat kita berpisah. Tak ada angin ataupun hujan, disaat aku bertempur dengan demam di tubuh, nyasar
menuju sebuah tempat hanya untuk menunjukkan usahaku yang toh akhirnya gagal. Kamu tetap tak bergeming. Kamu tak melihat itu. Yang ada hanyalah aku sebagai
Tahi. Tak penting. Tak berharga. Bagimu, aku telah gagal mengemban misi perjuangan. Kamu butuh bukti bahwa aku bisa mengalahkan pesona gadis impianmu. Dan
ternyata aku gagal. Kamu tahu Fad, dibalik sikapmu yang merasa kecewa, aku lebih hancur lagi. Pulang dengan tangan kosong ibarat pahlawan kalah perang. Kupikir dunia membenciku dan alam semesta berhenti tersenyum padaku.

Tak butuh waktu lama untuk aku tahu bahwa kamu menyingkirkanku. Asal kamu tahu, ketika kisah ini kembali terucap, bukan karena aku tak rela. Tapi karena aku telah siap melepasmu yang ternyata menjadikan perpisahan kita sebagai dalih dari alasan sebenarnya. Ketika itu kamu dipengaruhi banyak pilihan pada tiga wanita. Dia, aku dan gadis itu. Kamu tak bisa menyingkirkan dia dan gadis itu. Maka kamu memilih aku. Untuk ditinggalkan tentu saja. Bukan untuk dijaga. Aku ibarat rumah yang tak ingin kamu singgahi lagi. Tak apa, pikirku, biar aku menjauh karena dengan begitu semua akan baik-baik saja. aku bukanlah pejuang yang sportif. Dengan marah, aku caci maki kamu yang sudah membohongiku sejak awal. Menghancurkan impianku dan pemahamanku akan cinta yang tulus. Penerimaan tanpa syarat. Sejujurnya kamu membuatku muak pada diriku yang tak pernah kapok bermimpi. Tapi kamu dengan topeng tanpa dosa menawarkan persahabatan.

"Kenapa kita tidak bisa berteman? Kalau jodoh tak akan kemana?" itu katamu. Dan aku membalasnya, "Kalau gak bisa jadi pacar lebih baik gak usah berteman karena aku hanya ingin menjadi kekasihmu."

Kupikir dengan kebencian yang kusebarkan itu, kamu akan menyerah. Berhenti melukaiku. Tapi kamu dengan ketenangan yang kadang aku benci itu, memilih bertahan menghadapi badai yang kuciptakan. Kamu tak bosan-bosannya meminta untuk menjalin persahabatan dengan harapan menutupi rasa bersalahmu. Seperti biasa lagi-lagi semua cuma kedok.

Akhirnya, kali pertama itu kembali hadir. Ketika aku yang selalu berbagi rasa denganmu tentang banyak hal. Ketika aku tahu bagaimana gundahmu saat bertemu seseorang yang kamu kagumi selain Dia. Kamu tak pernah tahu bagaimana perasaanku. atau kamu tahu dan memilih tutup mata. Aku tak mengeluh sedikitpun, aku memendam semuanya. Aku mendukungmu dari jauh untuk mendapatkan cinta seorang gadis impianmu. Tapi ternyata, aku masih tetap Tahi buatmu. Apa yang salah dengan aku? Tak bolehkah aku sejenak menyingkir darimu, tak bolehkah aku bertemu dan mengenal orang lain? Kenapa kamu tak mendukungku? kenapa hanya makian yang terlontar darimu?

Kali pertama itu sudah membuat kita kian terpisah bukan hanya sekedar jangkauan kilometer Surabaya-Jakarta. Tapi kali pertama dengan tambahan Tahi itu menjauhkanku dari sosok aslimu. Yang penuh kesabaran saat aku terluka. Yang menemaniku saat hatiku tak sanggup menahan tangis. Yang tertawa oleh sindiranku tanpa merasa tersinggung. Apa yang membuatku pantas mendapat julukan itu? Tak akan pernah bisa kutemukan jawabannya karena Tahi adalah kotoran atau ampas dari sisa makanan. Itulah aku bagimu yang penuh dengan kebencian. Yang bisa kulakukan hanya mendoakanmu walau dari kejauhan. Sayang itu akan tetap ada, karena kali pertama aku mengenalmu menjadi salah satu hari dimana aku bisa tersenyum ketika melihat diriku sendiri.

Dari Yang Selalu Memikirkanmu, Tanpa Henti

Bibinya Naima, Najma dan Ranu






2 komentar:

Ummi Ita mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ummi Ita mengatakan...

time will tell
just be patient dear ^^

*yang selalu mendukung dan mendoakanmu ^^