Selasa, 06 Desember 2011

Percakapan dari Hati




Dalam hidup semua orang pasti pernah merasa lelah, ingin berhenti tapi tak bisa, ingin berusaha tapi beban begitu menghimpit. Kadang hanya lari dan menyingkir yang jadi pilihan. Hari ini saya mengalami sesuatu yang membuat saya ingin berhenti. Saya berharap bisa terdiam untuk selamanya bersama dengan waktu. Saya lelah. Lelah menjadi benar, lelah karena terus dinilai (Maaf). Saya sedang lelah saja. Tanpa alasan pokoknya.

Tujuan saya akhirnya jadi tak jelas, sambil mengelilingi kota dan menyaksikan ketika semua orang tengah menikmati indahnya malam. Saya memulai dialog saya dengan seorang sahabat. Bisa dibilang dia adalah bagian dari hidup saya. Sosok yang membuat saya terinspirasi untuk menjadi lebih baik. Sebut saja namanya Randu.

Ketika saya merasa putus asa, Randu mengingatkan saya akan sebuah pepatah, "Jika lelah maka beristirahatlah, tapi jangan pernah berhenti hidup". Saya jadi terharu dengan kata-katanya. Akhirnya saya menceritakan keluh kesah saya padanya. Seperti biasa, dia dengan sebatang rokok mengepul di tangannya dan kacamata tebal yang menghias wajahnya terlihat tenang ketika menyimak ocehan saya yang kalau kata W.S Rendra, "Bagian dari mengeluh dan mengaduh".

Usai mendengar cerita saya, Randu langsung menggelengkan kepala dan bertanya, "Apa sudah dipikir masak-masak? Apa kamu yakin dengan gagasan itu."

Dengan mantap saya berkata, "Ini sudah jadi niat saya sejak kecil. Seandainya dulu saya gak sebegitu takutnya untuk mengakhiri hidup saya, mungkin saya gak perlu ngalami masalah yang sebegitu banyaknya sampai rasanya membuat kepala saya terasa pecah seperti saat ini."

Melihat saya yang begitu berapi-api dan emosional, sahabat saya itu menepuk pundak saya sambil menggeleng2xkan kepalanya. "Kenapa kamu bisa begini nduk? Apa segitu beratnya masalah kamu sampai harus menyerah?"

Saya lalu dengan mata berkaca-kaca berkata, "Semua orang kadang menilai saya buruk dan saya juga kadang membuat salah baik sengaja maupun tak disengaja. Tapi kamu tahu nggak, kalau sebenarnya yang membuat saya terluka itu bukan karena penilaian buruk orang lain yang kadang gak 100% benar. Tapi karena saya sebenarnya tak bisa memaafkan diri saya ketika saya membuat kesalahan dan menyebabkan orang lain marah pada saya."

Dengan nafas sesak saya melanjutkan, "Saya merasa dilema antara ingin membuat kesalahan untuk tahu apakah saya masih bisa diterima meski punya kelemahan dan keinginan untuk menjadi benar agar orang menganggap saya sempurna."

Randu pun berkata, "Apakah sepenting itu? Apakah hidup kamu dan kebahagiaan kamu hanya berdasarkan keinginan orang lain? Kapan kamu akan menjadi bahagia bahkan ketika kamu membuat kesalahan, kapan kamu akan memaafkan diri kamu ketika orang membenci kamu."

"Sejujurnya saya gak pernah terlalu marah pada orang yang tak suka dengan sikap saya, saya justru marah pada diri saya karena membiarkan saya membuat kesalahan." Itu jawaban saya buat Randu.

"Tapi kesalahan adalah guru yang paling baik," jawab Randu. "Kesalahan adalah pertanda bahwa kamu seorang manusia yang utuh. Belajarlah menerima bahwa kamu gak sempurna. Mungkin hal itu tak akan terlalu menyakitkan."

"Tapi saya lelah. Lelah dengan penilaian orang. Saya ingin membuat kesalahan tanpa takut membuat orang lain marah," kata saya ngotot.

Randu tertawa kecil. "Ini bukan karena kamu gak suka dikritik, kan?"

"Mereka itu sering salah paham. Sebenarnya saya mau dikritik kalau orang lain itu mau saya kritik. Kalau dia aja gak suka dengan kritikan dari saya. Kenapa dia harus bersikap keras dengan mengkritik saya," kata saya sedikit cemberut.

Randu terdiam. Saya yang sadar kalau saya bernada tinggi, lalu kembali bertanya dengan nada suara diturunkan, "Apa saya terlalu perhitungan kalau berharap diterima meski kesalahan saya fatal. Meski orang itu punya trauma sehingga bersikap keras sama saya? Saya juga trauma, ndu. Tapi saya ingin belajar menerima orang apa adanya. Kenapa mereka sepertinya selalu berharap saya selalu baik. Tak bolehkah saya menjadi diri sendiri yang tak sempurna? Saya ingin merasakan diterima ketika saya tak sempurna, ndu. Sejak kecil sampai sekarang, orang yang saya sayangi selalu menuntut lebih dari saya. Saya tahu maksud mereka baik. Mungkin mereka melihat sisi baik dalam diri saya. Makanya mereka berharap saya berubah. Tapi saya benar-benar ingin melakukan sesuatu tanpa dinilai. Saya ingin dimaklumi."

Pemuda yang sebenarnya sibuk tetapi mau meluangkan waktunya untuk saya itu hanya menggeleng2x sambil berkata, "Mungkin mereka sudah memaklumimu, nduk. Apa mungkin kamu melewati batas kesabaran mereka?? Kenapa harus ngotot, nduk. Kalau ada badai ya berlindunglah, kalau ada kebakaran ya menyingkirlah. Jangan diam di satu tempat."

"Maksudnya?"

"Kamu harus belajar untuk menguasai perasaan. Berhentilah menjadi emosional. Langit tak selamanya runtuh. Berhentilah mengkhawatirkan banyak hal hanya karena tak sesuai denganmu. Mungkin hanya sementara saja. Mungkin esok lebih baik."

Saya terdiam sambil berpikir sejenak lalu membalas, "Maksudnya? Bagaimana kalau mungkin yang kamu maksud itu tak akan pernah tiba. Apa saya harus diam di satu tempat??"

Sahabat saya tersenyum sambil menjawab dengan suaranya yang menenangkan, "Ambillah nafas manakala sesak menderamu. Ambillah jeda ketika beban terasa menghimpitmu. Berusahalah tapi jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Ketika ada sesuatu yang tak sesuai, lepaskan hal itu, tunggu dan lihatlah, pasti akan ada hal baik yang terjadi."

Itulah Randu. Selalu punya jawaban untuk banyak hal. Tapi sahabat, sepertinya kali ini memang sudah sampai klimaksnya. Untuk saat ini saya belum bisa menentukan arah perjalanan saya. Karena kini saya kembali ke titik nol. Saya tahu bahwa membuat seseorang bahagia memang tidak mudah tapi kadang menjadi diri sendiri justru lebih sulit. Seperti kata Five for Fighting, "It's Not Easy to Be Me"


6 komentar:

Unknown mengatakan...

pada intinya,kita hidup hingga detik ini adalah untuk fight terhadap semua kemungkinan masalah atau pun kesenangan,jadi hidup tuh bakal berwarna kalau kita tetap tetap fight tapi sebaliknya hidup bakal jadi sampah kalau hanya banyak mengeluh terhadap apa yang kita masalah kagak penting menjadi sesuatu hal besar & menjadi penting

Melihat Dengan Hati mengatakan...

Iya mas Andy.makasih atas inputnya..^_^

Ujang Arnas mengatakan...

"Kamu harus belajar untuk menguasai perasaan. Berhentilah menjadi emosional. Langit tak selamanya runtuh. Berhentilah mengkhawatirkan banyak hal hanya karena tak sesuai denganmu. Mungkin hanya sementara saja. Mungkin esok lebih baik"

Gilaa :) termotivasi baca tulisan ini.
nice one :)

Melihat Dengan Hati mengatakan...

mas uchank..terharu dengan komen anda..makasih..:D

arya.poetra mengatakan...

Selalu ada cahaya yang dititipkanNYA dalam setiap gelap, setiap keputusasaan, setiap yang melemahkan.. :)
Great postingan mba.

Melihat Dengan Hati mengatakan...

makasih mas Arya Putra